Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2021

Ingin Rasanya

Ingin rasanya menulis. Menciptakan karya yang terlahir dari otak. Dan menulis kisah cerita perjalanan kehidupan. Entah itu nyata, ataupun fiksi belaka. Tapi sayang, otak tak selalu mendukung hasrat keinginan. Payah... .

Balasan Memberi

Ternyata benar, hal baik datangnya dari diri sendiri. Apa yang kita tanam, maka kita akan menuai hasilnya. Sama seperti hidup, saling berbagi apa yang kita punya terhadap sesama. Seperti memberi sebagian uang saku kepada anak yang berjuang di lampu merah. Terkadang, yang kita kasih bukanlah apa-apa bagi kita, tetapi bagi mereka sangatlah berarti. Disaat itu, aku kesal, sedih, marah, dan berfikir bahwa bahagia dalam rutinitasku itu sangatlah sulit. Pikiran tak karuan diatas motor. Di suatu ketika lampu merah, detik lampu pun muncul, tapi bukan hijau, melainkan merah. Disaat menunggu, helmku jatuh, hampir saja mengelinding ke arah jalan. Tapi ada satu anak yang menyelamatkan barang berhargaku itu. Pakaiannya lusuh, kedua tangannya menggengam tisu, rambutnya pun tak karuan. Lalu ia berlarian, menolongku dengan sukarela menyelamatkan helmku. Lalu aku bilang terimakasih. Anak itu balas dengan senyuman. Kemudian ia bernyanyi yang entah lagu apa yang dinyanyikannya. Disaat itu, rasa kesal, se...

Perihalmu, Rinjani. (26)

Entah kenapa, menulis sesuatu hal tentangmu itu selalu menyenangkan, walaupun tek menimbulkan euforia, tetapi aku dapat merasakan kehadiranmu dalam kepalaku. Mungkin blog pribadiku ini kebanyakan tentang dirimu, tentunya menceritakan dirimu dari sudut pandang perjalananku hidupku. Entah sampai kapan diriku ini bisa menuliskan tentang dirimu. Mungkinkah hanya sampai esok?atau lusa?atau ahad nanti?atau sampai aku tumbuh rambut putih?atau sampai aku disembayangkan? Semoga saja, perihal dirimu akan selalu menghiasi pikiranku. Selamat tidur, Rinjani. Untuk malam ini, hujan menemani tidurku dan tidurmu. . 0.11

Asmara Nusantara

Kita tulis cerita. Yang takkan kita lupa. Bersama di bawah langit senja. Di mana kita nyatakan saja pada mereka. Lewat sebuah lagu. Asmara kau dan aku. Di bumi yang indah. Di khatulistiwa. . (Budi Doremi)

Perihalmu, Rinjani. (25)

Tak mengapa seberapa jauh  jarak memisahkan kita, Tak mengapa seberapa lama waktu mempertemukan kita, Tak mengapa seberapa sering keadaan memisahkan kita, Tak mengapa seberapa cepat otakmu melupakan kehadiran kita, Dan pada akhirnya, namamu selalu terselip dalam kalimat-kalimat do'a yang selalu kuucap berbisik kepada Tuhan. Dan berharap, aku dan kamu akan menjadi kita.  . 0 .26

Perihalmu, Rinjani. (24)

Untuk pertama kalinya kamu hadir dalam hidupku, kamu berperan sebagai penemu jati diriku. Dan mungkin, diriku hadir dalam hidupmu hanyalah berperan sebagai orang yang kamu ajak bercerita dipinggir jalan dikala kamu sedang berteduh dari derasnya hujan yang menghambat perjalananmu. Setelah hujan telah redah, maka kamu akan beranjak pergi meninggalkanku dengan cerita yang telah kamu lontarkan kepada telingaku, dan meninggalkan senyummu disaat kau beranjak ingin pergi. Lalu, tinggallah aku dengan ceritamu yang bersahabat dalam otakku, dan jejakmu tinggal dengan perasaanku yang menyuruhku untuk mengejarmu sebelum jejak itu hilang. Tentunya, otak sama sekali tak pernah bersahabat dengan perasaan. Otak lebih memilih untuk mengabadikan ceritamu, sedangkan perasaan memilih untuk mengejar dirimu.   Dan pada akhirnya ,,, diri ini harus mengikuti perasaan yang kian hari kian membangkang. Otak tak dapat menahan hati yang dikendalikan oleh rewelnya perasaan. Lalu, Perlahan otak mengikuti hati ya...

Perihalmu, Rinjani. (23)

Entah  aku yang terlalu pengecut, atau perasaan ini yang sulit menerima logika keadaan. Hati, kini kian meragu untuk melangkah. Seberkas sikapmu bila bertemu yang melulu membuatku terpaut, dan membuat diriku untuk tak ragu lagi melangkah dan mendekapmu dalam pelukanku. Aku tak tahu, itu hanyalah sikap yang selalu kau lalangkan pada tiap orang, atau hanyalah khusus untukku saja? Terlebih lagi, diri ini yang terlalu takut untuk jatuh kesekian kalinya. Dan aku tak mau, bahwa yang menjatuhkanku itu dirimu. Rinjani, kini aku berharap perihal dirimu. Yang diselimuti doa. Dan menunggu pengabulan yang dibalut tahap proses. Entah pengakhiran apa yang tuhan ciptakan untuk kisah kita. Hanya saja, satu hal yang kumau. Kumau bahwa kamu bukanlah orang yang akan membuatku jatuh keselanjutnya. Dan aku mau kamu adalah orang yang akan memberikanku tangan ketika aku sedang jatuh kesekian kalinya. . 0.6

Ingin Pergi

Ingin rasanya menghilang dari bumi.  Layaknya menghilang bagaikan tersulap dengan mantra. Lalu meninggalkan bumi dan seisinya. Kemarin, aku pergi dengan rasa kebencian. Dan hari ini, terpaksa Pulang dengan rasa ketidaknyamanan. Dan detik ini, aku menetap dengan perasaan yang sama. Yaitu kekecewaan .

Temaram.

Perasaan kini kian temaram. Berbalut luka kehidupan yang perlahan memudar. Tetapi tak pasti menjamin kesembuhan jiwa. Dan raga kian melemas beriringan dengan kenyataan. Keadaan perlahan tak seimbang dengan pengharapan. Hati bimbang perihal menahan atau melepas. Dan kini, kuputuskan semuanya kepada Tuhan. Berharap jabaan doa yang nanti akan baik baik saja.

Perihalmu, Rinjani. (22)

Aku bercita-cita... Kelak suatu hari nanti aku akan membawamu berkelana, Rinjani. Entah itu ke pantai, sawah, gunung, maupun lautan. Dan aku akan mengajarkanmu bahwa sepasang mata tak hanya digunakan untuk menatap ke depan. Tetapi, aku akan membawa matamu untuk menatap surga ciptaan tuhan dibumi ini. Dan kau akan berteguk ludah dan bertutur syukur dalam hati. Semoga, dan semoga saja cita-cita ini tak henti di tengah jalan. Dan semoga, kau objek yang tepat untuk menaruh mimpiku yang absurd ini, Rinjani. . 20.01

Tak Karuan.

Lagi, lagi, dan lagi... Tubuh hendak istirahat, menikmati alunan mimpi, dan merasakan gelapnya malam. Tetapi, tidak dengan pikiran. Lagi-lagi pikiran ku terbebas dan berkeliaran. Ketika mencoba untuk tidur, mata memanglah memejam, tetapi tidak untuk otak dan aliran pikiran. Entah apa yang aku khawatirkan, dan selalu saja terpikirkan hal apapun yang berlalu lintas dan berlalu lalang dalam detik pemejaman mata. Ah,,, ya tuhan... sudah hampir 2 jam aku terbaring... kini kau kutuk aku menjadi apa lagi? Seperti mayat hidup yang memejamkan mata? Yang berbaring diatas kasur hangat ini? Dan memikirkan hal hal yang tak berguna?. . 3.9

Perihalmu, Rinjani. (21)

Bila bumi masih memiliki kasih sayang, aku akan menyapanya dari belahan darat dan lautannya. Bila matahari masih bersinar, kan kunikmati sinarnya dari awal hingga akhir kemunculannya. Bila bulan masih menemani malamku, aku akan menggampainya melalui mimpiku. Bila lautan masih membiru, aku akan berlayar di tengah samuderanya. Bila Rinjani menjadi takdirku, Kan ku bawa ia berkelana menuju kesurga-Nya... . 23.47

Perihalmu, Rinjani. (20)

Rasanya, menyebalkan bila hanya memandang wajahmu lewat foto gallery. Tapi, wajahmu tak membuatku bosan walaupun hanya memandangnya lewat foto saja. Oh tuhan, kutuklah aku menjadi seekor nyamuk agar aku bisa terbang lalu menyusuri rumahnya dan memandang wajahnya... Aku rela terbang berpuluh puluh kilometer dari rumahku walaupun hanya menjadi seekor nyamuk yang diterpa angin dari mobil malam demi hanya menyaksikan ia tidur... . . 23.29

February.

Di pembuka februari dan sampai hari ini, hujan selalu datang menerpa. Tak mengenal malam, pagi, siang, maupun sore hari. Entah apa yang membawamu memijakkan bumi. Sama halnya dengan kisah hidupku. Masalah kerap kali menerpa hari-hariku. Tak mengenal mampu atau tidak. Terlebih jelasnya, tuhan ingin aku tak takut dengan keterpurukan.